Sabtu, 18 Mei 2024
Beranda Hukum Kasus Haris-Fatia, Tim Advokasi Sebut Sidang Pemeriksaan Ahli Ungkap Fakta Penempatan Militer...

Kasus Haris-Fatia, Tim Advokasi Sebut Sidang Pemeriksaan Ahli Ungkap Fakta Penempatan Militer di Papua Ilegal

JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Kasus dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan terhadap Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti terus bergulir. Sebelumnya, Haris dan Fatia kembali menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN)  Jakarta Timur dengan agenda pemeriksaan ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Jaksa menghadirkan satu orang Ahli yakni Mayor Jenderal (Mayjen) Heri Wiranto yang merupakan Ahli Pertahanan dari Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam). Heri Wairanto pada sidang sebelumnya berhalangan hadir lantaran sedang dalam tugas.

Dalam sidang itu, ahli menjelaskan tentang definisi pertahanan negara, penyelenggaraan pertahanan negara oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), operasi militer untuk perang maupun selain perang sesuai dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, pengamanan Objek Vital Nasional (Obvitnas) berdasarkan Keputusan Presiden No. 63 Tahun 2004. 

Melansir dari laman resmi KontraS (10/8/2023), Tim Advokasi untuk Demokrasi menggali pengetahuan dan pendapat ahli mengenai operasi militer selain perang berdasarkan keputusan politik negara, definisi ancaman, ancaman militer/non-militer, ancaman konvensional dan non konvensional.

Menjawab hal itu, Ahli menyatakan bahwa seluruh operasi militer selain perang, berdasarkan UU TNI harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI). Akan tetapi Ahli tidak menjelaskan secara rinci bentuk dan dokumen persetujuan yang dimaksud dalam UU TNI.

Tim Advokasi lantas menyampaikan keterkaitan penjelasan Ahli dengan temuan dari hasil riset organisasi masyarakat sipil tentang pengerahan prajurit militer yang masif ke wilayah Papua.

“Ahli juga menyampaikan bahwa operasi militer baik perang dan selain perang pasti dibarengi dengan pengerahan prajurit. Maka dapat dimaknai bahwa pengerahan yang tidak berdasar keputusan politik negara dan persetujuan DPR RI, dapat disebut sebagai operasi militer illegal. Hal tersebut sejalan dengan temuan riset berbagai organisasi masyarakat sipil yang mengungkap pengerahan militer secara masif ke Papua, akan tetapi tidak didahului oleh prosedural yang sah menurut ketentuan perundang-undangan,” demikian dikutip dari siaran pers KontraS yang berjudul ‘Sidang Pemeriksaan Ahli dalam Kasus Kriminalisasi Fatia dan Haris: Poin Keterangan Ahli Tidak Signifikan Membuat Terang Perkara dan Ungkap Fakta Bahwa Penempatan Militer di Papua Ilegal’, 10 Agustus 2023.

Kemudian, Tim menanyakan perihal apakah sektor bisnis dapat meminta pengamanan kepada TNI. Ahli menjawab bahwa perintah adanya operasi ada pada kewenangan Presiden, dan penggunaan ada pada Panglima TNI. Pengamanan terhadap Obvitnas dapat dilakukan atas dasar tugas perbantuan TNI pada Polri.

“Secara rinci, Polri harus meminta perbantuan tersebut kepada Panglima TNI. Adapun mekanisme dan tata cara perbantuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Panglima TNI. Akan tetapi saat ditanya peraturan TNI nomor berapa, ahli mengaku lupa,” sebutnya.

“Dalam kaitannya dengan penempatan militer ke Papua, Ahli menyatakan bahwa pengerahan TNI dalam operasi di Papua dilandaskan Inpres No. 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Berdasarkan keterangan Ahli, TNI berdasarkan Inpres ini utamanya untuk membantu pengamanan dalam percepatan pembangunan Papua. Padahal, Inpres bukan merupakan produk hukum yang tidak dapat dikategorikan keputusan politik negara sesuai dengan UU TNI,” sambungnya.

Seperti diketahui, nama Luhut Binsar Pandjaitan disebut Haris dan Fatia dan mengaitkannya dengan perusahaan bisnis tambang di Papua. Pernyataan ini muncul dalam di kanal YouTube Haris Azhar yang berjudul ‘Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya Jendral BIN Juga Ada!! NgeHAMtam’.

Dalam video itu, Haris dan Fatia membahas soal perusahaan bernama PT Tobacom Del Mandiri. Perusahaan ini disebut sebagai anak usaha Toba Sejahtra Group, yang sahamnya dimiliki oleh Luhut. Perusahaan ini disebut bermain bisnis tambang di Papua.

Hal ini juga berkaitan dengan temuan koalisi masyarakat sipil perihal indikasi kepentingan ekonomi dalam serangkaian operasi militer ilegal di Intan Jaya, Papua. Riset yang diluncurkan oleh Walhi Eknas, Jatam Nasional, YLBHI, Yayasan Pusaka, LBH Papua, WALHI Papua, Kontras, Greenpeace, Bersihkan Indonesia dan Trend Asia mengkaji keterkaitan operasi militer ilegal di Papua dan industri ekstraktif tambang dengan menggunakan kacamata ekonomi-politik.

Kajian koalisi itu menyebutkan terdapat empat perusahaan di Intan Jaya yang teridentifikasi dalam laporan ini yakni PT Freeport Indonesia (IU Pertambangan), PT Madinah Qurrata’ain (IU Pertambangan), PT Nusapati Satria (IU Penambangan), dan PT Kotabara Mitratama (IU Pertambangan). Dua dari empat perusahaan itu, yakni PT Freeport Indonesia dan PT Madinah Qurrata’ain adalah konsesi tambang emas yang teridentifikasi terhubung dengan militer/polisi termasuk dengan Luhut. (UWR)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terkini

- Advertisment -