Kamis, 25 April 2024
Beranda Hukum Soroti Perppu Cipta Kerja, Senator Filep Nilai Pemerintah Pusat Amputasi Otonomi Daerah

Soroti Perppu Cipta Kerja, Senator Filep Nilai Pemerintah Pusat Amputasi Otonomi Daerah

JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Kehadiran UU Cipta Kerja menjadikan Otonomi Daerah atau Otonomi Khusus (Otsus) disorot berbagai pihak terutama terkait kewenangan daerah. UU Cipta Kerja juga sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) hingga akhirnya diputuskan inkonstitusional bersyarat.

Tak berselang lama, Pemerintah menjawab Putusan MK tersebut dengan mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Berkaitan dengan ini, Senator Filep Wamafma menyampaikan pandangannya terhadap keberadaan UU Cipta Kerja yang dinilainya bersinggungan dengan Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus (Otsus)

“Sejak awal saat UU Cipta Kerja muncul, beberapa Kepala Daerah menyampaikan tanggapannya, yang menurut saya mereka mempertanyakan ruang kewenangan daerah dalam konsep otonomi. Alih-alih membatalkan, Pemerintah sekarang justru sudah mengeluarkan Perppu Cipta Kerja,” ungkap Filep, Jumat (10/2/2023).

Filep mempertanyakan kewenangan pusat yang memiliki andil besar dalam hal investasi yang diatur dalam Bab X tentang Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional. Senator Papua Barat ini mengakui bahwa UU dan Perppu Cipta Kerja memang berupaya meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan yang meliputi penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko, penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha, penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor, dan penyederhanaan persyaratan investasi.

Akan tetapi menurutnya, kewenangan pemerintah pusat terlampau besar hingga seolah memangkas kewenangan pemerintah daerah yang diatur melalui Otda maupun Otsus.

“Disini, wewenang Kementerian Keuangan sangat besar. Kementerian ini bahkan punya wewenang melakukan pengelolaan aset dan menentukan calon mitra investasi. Atas nama investasi Pemerintah Pusat, maka Kementerian Keuangan dapat menetapkan dan atau menunjuk badan layanan umum, badan usaha milik negara, dan atau badan hukum lainnya. Disinilah saya bertanya, apa yang didapat daerah dalam kaitan dengan Otsus”, tanya Filep.

Filep pun menyoroti dampak penyederhanaan perizinan dan pelaksanaan Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Daerah akibat adanya UU Cipta Kerja.

“Kalau menurut Perppu Cipta Kerja, disebutkan pada Pasal 292A bahwa dalam hal penyederhanaan perizinan dan pelaksanaan Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Daerah menyebabkan berkurangnya PAD, maka Pemerintah Pusat memberikan dukungan insentif anggaran. Ini yang harus ditagih oleh daerah jika PAD-nya berkurang,” kata Filep lagi.

Filep melanjutkan, oleh karena Perppu Cipta Kerja ini mewajibkan penggunaan sistem perizinan berusaha secara elektronik yang dikelola oleh Pemerintah Pusat, maka kepala daerah yang tidak taat terhadap ketentuan ini dapat diberi sanksi administratif, bahkan bisa mengambil alih kewenangan memberikan izin usaha tersebut.

“Padahal kita semua tahu, tidak semua daerah di Indonesia ini memiliki infrastruktur digital yang memadai. Kita khawatir akan ada kesenjangan pembangunan lagi. Jadi, sekali lagi saya bertanya, peran daerah dalam Otsus itu dimana? Semua seperti dikebiri oleh Pemerintah Pusat,” tegas Filep.

“Menurut saya, dalam lingkup Otsus, semua kebijakan terkait perizinan, investasi, seharusnya mengakomodasi saran dan pemikiran dari Pemerintah Daerah, agar jika terjadi masalah di lapangan atau di daerah, Pemerintah Daerah bisa mengetahui secara pasti letak permasalahannya,” ucapnya lagi.

Lebih lanjut, Wakil Ketua Komite I DPD RI ini menyoroti adanya 15 PP turunan dari UU Cipta Kerja yang khusus membahas soal Perizinan dan Kegiatan Usaha Sektor. Di sektor lingkungan misalnya, hak akses masyarakat terhadap partisipasi dalam mengajukan keberatan dan penilaian AMDAL bahkan direduksi.

Ia menambahkan, soal izin usaha seharusnya disesuaikan dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Menurutnya, apabila RDTR itu belum tersedia di sebuah lokasi, pengusaha bisa saja mengajukan rencana tersebut kepada Pemerintah Pusat. Kemudian, Pemerintah Pusat akan memakai tata ruang wilayah nasional (RTRWN) dan tidak memakai RDTR yang akhirnya berdampak pada perlindungan serta pengelolaan lingkungan hidup di daerah.

Filep Wamafma lantas memberi contoh peraturan pemerintah yang langsung lahir pasca adanya UU Cipta Kerja. Setelah UU Cipta Kerja, muncul PP Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional yang diikuti dengan berbagai Peraturan Menteri misalnya Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko Perekonomian) Nomor 9 Tahun 2022, yang semuanya menentukan wilayah-wilayah yang menjadi pusat dari Proyek Strategis Nasional.

“Maka kita bertanya terus, daerah Otsus ini fungsinya apa jika semuanya diambil pemerintah. Saya menduga ada semacam resentralisasi, atau pengembalian tipikal sentralisasi secara perlahan,” kata Filep menambahkan.

“Sebagai Senator yang mewakili konstituen saya di daerah, dan sekaligus yang berbicara atas nama perwakilan daerah, saya meminta Pemerintah untuk memikirkan ulang desain pembangunan yang didasarkan pada UU Cipta Kerja dan Perppu termasuk semua PP dan Permen yang telah dihasilkan sebagai turunannya. Berkurang dan mungkin hilangnya kewenangan daerah dalam rangka Otsus, membuat saya merasa jangan sampai Otsus ini sia-sia setelah diperjuangkan bertahun-tahun,” kata Filep mengakhiri wawancara.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terkini

- Advertisment -