Sabtu, 18 Mei 2024
Beranda HAM Laporan RI Soal Papua dalam Sidang UPR Dewan HAM Tuai Kritik dari...

Laporan RI Soal Papua dalam Sidang UPR Dewan HAM Tuai Kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil

JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Laporan delegasi pemerintah RI dalam Sidang Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, pada Rabu, 9 November 2022 mendapat kritik, salah satunya dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pelaporan UPR.

Koalisi yang terdiri dari Amnesty International Indonesia, ASEAN SOGIE Caucus, KontraS, KIKA, Koalisi FreeToBeMe (FTBM) Indonesia, SAFEnet, dan Transmen Indonesia menyoroti sejumlah isu dalam laporan pemerintah pada sidang tersebut yang dinilai bertentangan dengan realita di lapangan. Kritik itu diantaranya terkait dengan situasi HAM di Papua.

Terkait hal itu, Manajer kampanye Amnesty International Indonesia Nurina Savitri menyinggung laporan pemerintah Indonesia yang menyampaikan bahwa sebagian besar kasus-kasus kekerasan di Papua telah diselidiki dan pelakunya telah diberi hukuman.

Akan tetapi, Nurina menilai kenyataan yang terjadi justru tidak ada kasus-kasus yang melibatkan aparat keamanan di Papua, termasuk pembunuhan di luar hukum, yang sebelumnya berhasil diusut tuntas dan diadili di pengadilan yang independen. 

“Di dalam laporan, pemerintah hanya menyampaikan situasi di Papua dari perspektif pembangunan infrastruktur, kesejahteraan, padahal di saat yang bersamaan kekerasan berlanjut. Tentu tidak adil menjawab segala kekerasan ini hanya dengan jargon pembangunan infrastruktur,” ujar Nurina dikutip dari laman resmi Amnesty International Indonesia, Kamis (10/11/2022).

Selain itu, kritik tajam juga mengarah pada pernyataan pemerintah agar membedakan antara pelanggaran HAM dan penegakan hukum. Koalisi juga menyoroti berulangnya pelanggaran terhadap hak masyarakat Papua atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai, serta kecenderungan pemerintah untuk menguatkan pendekatan keamanan di Papua.

“Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa dunia internasional harus bisa membedakan antara persoalan HAM di Papua dengan tindakan penegakan hukum yang sah. Pertanyaannya, apakah pemerintah Indonesia sudah bisa membedakannya?” ujar Nurina.

“Pembunuhan di luar hukum, pembungkaman ekspresi, terhadap masyarakat sipil Papua bukanlah tindakan penegakan hukum, itu jelas pelanggaran HAM,” sambungnya.

Dalam isu impunitas, Koalisi menyebutkan, pemerintah menekankan pemberian reparasi untuk korban dan bahwa mekanisme non-yudisial merupakan pelengkap untuk mekanisme yudisial. Selain itu, pemerintah merespons akan menginvestigasi dengan baik pelanggaran HAM berat masa lalu.

Namun, KontraS dalam laporan alternatifnya menilai bahwa pemerintah sering mengusahakan adanya perdamaian dengan memberi bantuan moneter tanpa adanya proses peradilan dan reparasi yang efektif melalui Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM.

Lebih lanjut, Nurina pun mengkritisi pemerintah Indonesia yang tidak memberikan informasi utuh mengenai situasi HAM di Indonesia dalam sesi UPR. Salah satu contohnya adalah klaim bahwa pemerintah Indonesia tengah melakukan perbaikan instrumen hukum melalui RKUHP, yang kenyataannya memiliki pasal-pasal bermasalah yang berpotensi melanggar HAM.

“Pasal pencemaran nama baik, pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, pasal penghinaan pemerintah, pasal makar, ini adalah pasal-pasal yang selama ini digunakan untuk membungkam mereka yang kritis terhadap kebijakan negara, merepresi mereka yang memiliki pandangan politik yang berbeda. Dan pasal-pasal itu dipertahankan di dalam draft terbaru RKUHP. Padahal hak-hak tersebut dijamin di dalam instrumen hukum internasional yang diratifikasi Indonesia dalam bentuk Undang-Undang,” ungkap Nurina.

Lebih lanjut, klaim mengenai pelibatan masyarakat sipil dinilainya juga tidak mencerminkan situasi sebenarnya mengenai serangan yang dialami pembela HAM dalam beberapa tahun terakhir. Ia menuturkan, dalam catatan amnesty, selama periode 2019-2022, ada 328 kasus serangan fisik maupun digital terhadap masyarakat sipil dengan 834 korban.

Diketahui, dalam sidang UPR putaran ke-4, pemerintah RI melaporkan capaian-capaian Indonesia dalam pemenuhan HAM seperti kesuksesan dalam mengesahkan Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja, mengesahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TP-KS), pembangunan infrastruktur dan penambahan anggaran untuk otonomi daerah di Papua, serta keberhasilan penanganan COVID-19.

Terkait pembela HAM dan kebebasan berpendapat, pemerintah merespons bahwa Indonesia selalu bekerja sama dengan pembela HAM, organisasi masyarakat sipil, jurnalis, dan elemen sipil lainnya dalam rangka perlindungan HAM.

Namun, Koalisi ini mengingatkan tentang pernyataan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti yaitu “Pembela HAM di Indonesia menghadapi berbagai serangan, di mana mereka atau keluarga mereka dibuntuti, diawasi, menjadi sasaran tuntutan pidana, dan pencemaran nama baik di depan umum”. Sehingga KontraS menekankan harus adanya perlindungan pembela HAM dan kebebasan berpendapat secara komprehensif dalam hukum. (UWR)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terkini

- Advertisment -