Kamis, 25 April 2024
Beranda Hukum Komite I DPD RI Uraikan Sejumlah Analisis Keuangan Daerah Terkait Otsus dan...

Komite I DPD RI Uraikan Sejumlah Analisis Keuangan Daerah Terkait Otsus dan DOB Papua

JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Pemerintah bersama DPR RI dan DPD RI memulai pembahasan 3 RUU tentang pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua dalam Rapat Kerja Tingkat I hari ini, Selasa (21/6/2022).

Terkait hal itu, Komite I DPD RI mengungkapkan sejumlah analisis keuangan daerah terkait implementasi kebijakan Otonomi Khusus di Papua dan Papua Barat yang layak menjadi bahan pertimbangan tentang kesiapan daerah dalam rencana pembentukan DOB.

Sejumlah analisis tersebut antara lain Analisis Dampak Dana Otonomi Khusus (DOK) terhadap Kesejahteraan OAP, Analisis Pendapatan Daerah di Era Otsus Papua, Analisis Belanja Daerah di Era Otsus Papua, Dampak DOK dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Dampak DOK Terhadap Kemiskinan.

“Hal ini berkaitan dengan pentingnya pemerintah menjelaskan ukuran capaian kestabilan politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 76 UU Otsus secara kuantitatif dan kualitatif,” ujar Wakil Ketua I Komite I DPD RI Filep Wamafma.

Mewakili Komite I DPD, Filep menguraikan analisis Dampak Dana Otonomi Khusus (DOK) terhadap Kesejahteraan bagi OAP. Menurutnya, DOK yang diperuntukan bagi Papua dan Papua Barat dalam pelaksanaan Otsus, tercatat terus mengalami peningkatan dengan rata-rata sebesar 13,79 persen per tahun.

Sampai dengan tahun 2020, tercatat DOK untuk Papua dan Papua Barat sebesar Rp 129,82 triliun, dimana Rp 91,99 triliun dialokasi ke Provinsi Papua sementara Rp 37,84 triliun penggunaannya di Provinsi Papua Barat. 

“Meningkatnya penerimaan DOK diharapkan dapat digunakan oleh daerah untuk mengoptimalkan pelayanan publik dan mendorong aktivitas ekonomi melalui optimalisasi potensi ekonomi, sehingga daerah dapat mandiri secara ekonomi dan finansial,” ungkap Filep.

Selanjutnya, Filep memaparkan data keuangan daerah tahun 2016 s.d 2020 dari Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI guna menganalisis kapasitas fiskal dari aspek pendapatan daerah.

Pada tahun 2016 s.d 2020 (era Otsus Papua) rata-rata sumbangan PAD dari 29 kabupaten/kota dan 1 provinsi di Papua terhadap pendapatan daerah hanya sebesar 3,21%. Sementara rerata proporsi pendapatan daerah yang berasal dari dana perimbangan sebesar 74,42%, dan rerata proporsi pendapatan daerah dari lain-lain pendapatan daerah yang sah sebesar 22,37%.

Pola yang sama juga terjadi di Provinsi Papua Barat, rata-rata sumbangan PAD dari 13 kabupaten/kota dan Provinsi Papua Barat terhadap PD hanya sebesar 3,61%. Sementara PD yang diperoleh dari dana transfer Pemerintah Pusat seperti Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah masing-masing sebesar 68,82% dan 27,57%.

“Besarnya proporsi sumbangan menunjukan bahwa, ketergantungan fiskal daerah di Papua relatif sangat tinggi terhadap transfer dana dari Pemerintah Pusat.  Hasil olahan data juga menunjukan bahwa di Provinsi Papua, terdapat 4 kabupaten/kota yang memberikan kontribusi PAD terhadap PD yaitu sebesar 5% s.d 10%, dan 2 kabupaten/kota yang mampu memberikan sumbangan PAD lebih dari 10% terhadap PD. Sisanya 23 kabupaten/kota hanya memberikan kontribusi kurang dari 5% dan didominasi oleh wilayah DOB pasca tahun 2001,” jelasnya.

“Sementara di Papua Barat, hanya 4 kabupaten/kota yang mampu memberikan sumbangan PAD terhadap PD sebesar 5% s.d 10%. Sisahnya 13 kabupaten/kota di Papua Barat (wilayah DOB pasca tahun 2001 dan tahun 2008) hanya dapat memberikan kontribusi PAD kurang dari 5% terhadap PD,” sambungnya.

Selain itu, hingga tahun 2020, potret belanja daerah dalam struktur APDB kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat, masih didominasi oleh Belanja Langsung yang masing-masing sebesar 54% (Provinsi Papua) dan 59% (Provinsi Papua Barat)

Lebih lenjut, ia menyampaikan, penilaian dampak DOK terhadap kesejahteraan masyarakat di Papua dapat dilakukan dengan mengamati perkembangan indikator kesejahteraan seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merepresentasikan kualitas sumber daya manusia, dan persentase penduduk miskin di Papua dan Papua Barat.

Terhitung tahun 2016-2020, penerimaan daerah di Provinsi Papua dari transfer Pemerintah Pusat melalui DOK meningkat setiap tahunnya dari Rp 7,38 triliun menjadi Rp 8,99 triliun atau meningkat sebesar 5,18% per tahunnya, hanya dapat meningkatkan pertumbuhan IPM per tahunnya sebesar 1,08% di Papua.

“Papua Barat juga mengalami peningkatan pendapatan daerah dari transfer DOK. Tercatat di tahun 2016, Papua Barat memperoleh transfer DOK sebesar Rp 3,63 triliun, naik menjadi Rp 4,02 triliun di tahun 2020 atau mengalami peningkatan sebesar 3,25% per tahunnya. Meningkatnya DOK di Papua Barat sebesar Rp3,25% per tahun, secara tidak langsung berkontribusi terhadap pertumbuhan IPM di Papua Barat sebesar 1,16% per tahun,” terang Filep.

Hal ini menurutnya menunjukan bahwa, jika Pemerintah Pusat ingin untuk meningkatkan kualitas hidup sumber daya manusia di Papua, maka transfer DOK perlu ditingkatkan dan/atau ditambah nilainya.

Sementara itu, baik di Papua dan Papua Barat, meningkatnya pendapatan daerah yang diterima melalui DOK (Papua sebesar 5,18% per tahun dan Papua Barat sebesar 3,63% per tahunnya) hanya mampu menurunkan kemiskinan yang diukur melalui persentase penduduk miskin pada kedua wilayah masing-masing sebesar 1,56% per tahun dan 3,82% per tahun. Ini menunjukan bahwa, jika Pemerintah Pusat ingin untuk meningkatkan kualitas hidup sumber daya manusia di Papua, maka transfer DOK perlu ditingkatkan dan/atau ditambah nilainya.

Menurutnya, hasil analisis secara umum ini menunjukan bahwa untuk menurunkan kemiskinan di Papua-Papua Barat, Pemerintah Pusat perlu meningkatkan transfer DOK serta memantau dan memastikan penggunaan belanja layanan publik yang bersumber dari DOK sesuai peruntukannya.

Oleh sebab itu, Senator Papua Barat ini juga meminta pemerintah menjelaskan secara detail tentang urgensi pemekaran wilayah guna memastikan rencana kebijakan tersebut sepenuhnya berpihak pada kesejahteraan masyarakat Papua.

“Diperlukan suatu penjelasan secara terbuka oleh Pemerintah dan DPR tentang tujuan dari pemekaran di tanah Papua. Pemetaan grand design-nya harus dipaparkan secara spesifik, yang bisa dipahami secara utuh oleh Orang Papua, bisa diterima dengan pikiran positif; karena bagaimanapun juga ada kekhawatiran dalam tatanan akar rumput, jangan sampai pemekaran hanya menjadi ajang perebutan kekuasan dan berbagai modalitas yang mengikutinya, dan justru menempatkan Orang Papua sebagai penonton asing di negerinya sendiri,” ujar Filep Wamafma.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terkini

- Advertisment -