PAPUA, JAGAINDONESIA.COM – Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengajukan permohonan intervensi sebagai pihak ketiga terkait dengan pemeriksaan gugatan lingkungan hidup yang diajukan oleh masyarakat adat Awyu. Permohonan ini diajukan kepada majelis hakim PTUN Jayapura pada Rabu, 12 April 2023, dengan didampingi tim kuasa hukum yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua.
Adapun gugatan itu diajukan oleh Hendrikus Woro, Pembela Hak Masyarakat Adat dan Lingkungan Hidup dari masyarakat adat Awyu di Boven Digoel, terhadap Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua dalam perkara Nomor 6/G/LH/2023/PTUN.JPR di Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.
Hendrikus menggugat DPMPTSP yang menerbitkan Surat Keputusan Nomor 82 Tahun 2021 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit seluas 36.094,4 hektar ke PT Indo Asiana Lestari di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.
“Permohonan intervensi ini didasarkan misi kepentingan dan tujuan untuk mengupayakan dan memperjuangkan pemenuhan hak-hak dasar rakyat; hak atas tanah dan kekayaan alam lainnya, hak atas lingkungan hidup; adanya pengakuan dan perlindungan atas keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Adat dan kelompok masyarakat miskin; Adanya jaminan atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara adil dan berkelanjutan”, kata Franky Samperante Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dalam siaran persnya, Kamis (13/4/2023).
Franky menyampaikan pemohon intervensi yakni Yayasan Pusaka Bentala Rakyat memohon menjadi pihak ketiga atau intervensi atas kemauan sendiri untuk mempertahankan atau membela hak dan kepentingannya agar Pemohon Intervensi tidak dirugikan oleh sebuah putusan pengadilan. Menurutnya, hal ini telah diatur dalam Pasal 83 UU Peradilan Tata Usaha Negara.
“Pemohon Intervensi adalah organisasi non-pemerintah yang memiliki perhatian penuh terhadap Hak Asasi Manusia khususnya yang berkaitan dengan Hak Masyarakat Adat di Papua dan Kelestarian Lingkungan Hidup di Papua,” katanya.
Ia menuturkan, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat berpandangan gugatan Hendrikus Woro, merupakan bagian dari upaya menuntut pemulihan hak atas tindakan negara yang abai menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.
“Negara sebagai pemangku HAM (duty bearer) mempunyai kewajiban untuk menjamin pelaksanaan, pemajuan dan pemenuhan HAM di Tanah Papua dan wilayah lainnya. Negara wajib menghormati (to respect), melindungi (to fulfill) dan memenuhi (to protect) Hak Asasi Manusia, termasuk didalamnya hak-hak masyarakat adat,” ungkap Franky.
Selain itu, Anggota Kuasa Hukum Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, Emanuel Gobay, S.H, M.H., menjelaskan, dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, kedudukan organisasi lingkungan hidup mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana telah diatur dalam Pasal 92 ayat 2 dan 3 UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dimana organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup”, jelas Emanuel Gobay, S.H, M.H, yang juga Direktur LBH Papua.
Adapun permohonan intervensi yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup, telah terdapat berbagai preseden di dalam Putusan Perkara Nomor 75 /G.TUN/2003/PTUN-JKT/INTV, 4 (empat) organisasi lingkungan hidup antara lain WALHI, ICEL, APHI, dan PBHI dapat diterima sebagai pihak intervensi dalam perkara reklamasi dan revitalisasi Pantura Jakarta.
Seperti diketahui, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat telah mendampingi masyarakat adat Awyu di Kampung Yare, Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, untuk advokasi melindungi, mengamankan dan mengelola hutan adat secara adil dan berkelanjutan, salah satunya mendokumentasikan pengetahuan tenurial dan pemetaan wilayah adat, dan merencanakan upaya pengakuan hak atas tanah dan hutan adat oleh marga-marga setempat.
Yayasan Pusaka mengungkapkan bahwa Masyarakat adat Awyu telah menunjukkan kemampuan dan pengetahuan mereka dalam mengelola hutan adat secara berkelanjutan. Sedangkan, terbitnya izin kelayakan lingkungan PT Indo Asiana Lestari dinilai akan melanggar hak hidup dan hak atas lingkungan hidup, tempat penting dan sakral dan temuan kenekaragaman bioderversity terancam hilang akibat keberadaan izin.
“Hal ini merugikan kepentingan dari pemohon intervensi yang saat ini bersama-sama penggugat dan masyarakat adat lainnya yang sedang mempersiapkan syarat pengakuan hutan adat guna perlindungan sumber daya dan lingkungan,” sebut Franky.
Oleh sebab itu, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat memohon agar Majelis Hakim PTUN Jayapura yang memeriksa dan mengadili Perkara ini berkenan untuk memberikan Putusan sebagai berikut:
(1) Menerima dan mengabulkan permohonan intervensi yang diajukan oleh Pemohon Intervensi untuk seluruhnya;
(2) Menyatakan secara hukum Pemohon Intervensi merupakan pihak ketiga yang memiliki kepentingan hukum dalam Perkara Nomor 6/G/LH/2023/PTUN.JPR di Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura;
(3) Menerima Pemohon Intervensi sebagai pihak Penggugat Intervensi di dalam Perkara Nomor 6/G/LH/2023/PTUN.JPR di Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. (UWR)