Jumat, 26 April 2024
Beranda Hukum Hutan Adat Terancam Rusak, Pemimpin Marga Woro Suku Awyu Ajukan Gugatan ke...

Hutan Adat Terancam Rusak, Pemimpin Marga Woro Suku Awyu Ajukan Gugatan ke PTUN

PAPUA, JAGAINDONESIA.COM – Pemimpin marga Woro yang merupakan bagian dari Suku Awyu Kampung Yare, Distrik Fofi, Boven Digoel mengajukan gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura.

Pejuang lingkungan hidup dari Suku Awyu Hendrikus ‘Franky’ Woro melayangkan gugatan itu lantaran pemerintah daerah diduga menutup informasi tentang izin-izin PT IAL yang konsesinya akan mencaplok wilayah adat mereka. Gugatan ini menyangkut izin lingkungan hidup yang dikeluarkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (PT IAL).

“Kami sebagai pemilik wilayah adat tidak mendapatkan informasi tentang rencana aktivitas perusahaan. Kami juga tidak dilibatkan saat penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal),” kata Franky Woro, dikutip dalam siaran pers Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua, Senin (13/3/2023).

Dalam gugatan ini, Franky Woro memohon majelis hakim untuk memerintahkan pencabutan izin kelayakan lingkungan hidup PT IAL. Pasalnya, upaya masyarakat Suku Awyu mencari informasi sudah berlangsung sejak awal tahun lalu. Franky bersama komunitas Cinta Tanah Adat yang merupakan komunitas paralegal yang beranggotakan warga Suku Awyu telah meminta penjelasan dari sejumlah dinas, baik di Kabupaten Boven Digoel maupun Provinsi Papua.

Pada Juli 2022, Franky menyampaikan permohonan informasi publik untuk mengetahui perizinan PT IAL. Sayangnya, Dinas Penanaman Modal dan PTSP Provinsi Papua tak memberikan informasi yang diminta, dan justru mensyaratkan sejumlah dokumen yang memberatkan pemohon. Selain itu, upaya Franky menggugat Dinas Penanaman Modal dan PTSP ke Komisi Informasi Publik Provinsi Papua pun tak berhasil.

Salah seorang kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua, Tigor Hutapea menyebutkan bahwa analisis Amdal yang digunakan dalam izin kelayakan lingkungan hidup tersebut pun bermasalah.

“Izin kelayakan lingkungan hidup dikeluarkan berdasarkan Amdal yang bermasalah, mengabaikan keberadaan masyarakat adat sebagai pemilik wilayah adat, dan cacat substansi karena tak disertai analisis konservasi. Ini bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dan hilangnya hak-hak masyarakat adat,” kata Tigor.

Penerbitan izin kelayakan lingkungan hidup PT IAL diduga melanggar peraturan perundang-undangan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyusunan Amdal, dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan  Hidup.

Selain itu, pemberian izin untuk perusahaan sawit ini juga tak sejalan dengan janji pemerintah mengatasi perubahan iklim. Dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), pemerintah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Sementara berbagai informasi resmi menyatakan, salah satu sumber emisi terbesar Indonesia berasal dari alih fungsi lahan dan deforestasi.

Izin lingkungan PT IAL diperkirakan akan memicu deforestasi di area yang mayoritas lahan hutan kering primer seluas 26.326 hektare.

“Potensi emisi karbon yang lepas jika deforestasi itu terjadi yakni setidaknya sebesar 23.08 juta ton CO2. Ini akan menyumbang lima persen dari tingkat emisi karbon pada 2030,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum.

Emanuel Gobay, kuasa hukum dari Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua mengatakan, masyarakat Suku Awyu khawatir beroperasinya perusahaan sawit akan merusak lahan dan hutan adat mereka seperti yang terjadi di daerah lainnya di Papua.

Pasalnya, wilayah yang masuk dalam konsesi PT IAL itu bukan hanya sebagai tempat Suku Awyu mencari sumber pangan, obat-obatan, dan penghasilan ekonomi, tapi juga habitat bagi flora dan fauna endemik Papua. Bagi masyarakat adat, hutan juga menjadi identitas budaya dan sumber pengetahuan.

“Sudah ada sejumlah contoh hilangnya hutan-hutan adat di Papua karena pemerintah memberikan izin untuk perkebunan sawit dan industri kayu. Pola-pola seperti ini semestinya dihentikan, karena hanya akan semakin meminggirkan masyarakat adat Papua. Hutan Papua juga merupakan hutan hujan terluas yang tersisa di Indonesia,” katanya.

Berdasarkan laporan Greenpeace ‘Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua mencatat, PT IAL mengantongi izin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 39.190 hektare sejak 2017. Perusahaan ini diduga dikendalikan oleh perusahaan asal Malaysia All Asian Agro, yang juga memiliki perkebunan sawit di Sabah di bawah bendera perusahaan East West One.

PT IAL disebut memperoleh lahan tersebut dari PT Energy Samudera Kencana, anak perusahaan Menara Group yang sempat bakal menggarap Proyek Tanah Merah di Boven Digoel. (UWR)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terkini

- Advertisment -