Kamis, 18 April 2024
Beranda Berita Daerah Hari Pekabaran Injil, Filep Wamafma Tekankan Pentingnya Sinergi Gereja Bangun Papua

Hari Pekabaran Injil, Filep Wamafma Tekankan Pentingnya Sinergi Gereja Bangun Papua

PAPUA BARAT – Sabtu, 5 Februari 2022 merupakan hari bersejarah bagi Orang Papua. Hari ini mengungkap kembali kenangan tentang datangnya misionaris Jerman, Carl Wilhelm Ottouw dan Johann Gottlob Geissler yang membawa Injil ke Tanah Papua.

Pada peringatan 167 tahun Injil masuk ke Tanah Papua, Filep Wamafma mengungkapkan refleksi kritis atas kehadiran dan peran Gereja yang sangat dibutuhkan saat ini dalam membangun tanah Papua. Hal ini menurutnya sesuai dengan kehadiran dan harapan kedua misionaris Injil di atas saat memasuki Papua agar orang Papua bahagia lahir dan batin hidup di atas tanah mereka sendiri, “In Gotes Name Betraiten Wir Das Land” yakni Dalam nama Tuhan kami Menginjak Tanah ini.

Filep mengungkapkan, tujuan Injil yakni Kabar Gembira dari Tanah Papua selalu menjadi tujuan dan cita-cita setiap perjuangan dan langkah-langkah putra-putri asli Papua dari berbagai kalangan melalui berbagai lini kehidupan. Ia memandang membangun kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Papua tak terlepas dari tiga tungku utama yang saling menguatkan yakni unsur Pemerintah, Gereja dan Adat. Namun, situasi saat ini menerangkan perlunya kembali ketiga tungku tersebut saling terbuka dan bersinergi untuk kemajuan masyarakat Papua.

“Secara sosiologis, pembangunan di Papua bersendikan 3 pilar yaitu Gereja, Adat, dan Pemerintah. Konsep pembangunan ini kurang dioptimalkan. Suara Gereja seringkali hilang oleh tekanan politik. Suara Adat sering raib lantaran ditahan Pemerintah. Di sisi lain, kebijakan Pemerintah seringkali mendapat penolakan dari Adat dan Gereja karena dianggap merampas HAM Orang Papua,” kata senator Papua Barat ini, Sabtu (5/2/2022).

Ia menyampaikan, pertarungan ketiga narasi ini menyebabkan makna pembebasan Orang Papua dari kemiskinan, kebodohan, penyakit, diskriminasi, dan bebas dari segala bentuk pelanggaran HAM, hanyalah sebuah utopia belaka. Akar sosiologis ini seharusnya mampu membangkitkan kembali nilai-nilai yang ditinggalkan para misionaris dengan bersatu dan bersinerginya ketiga tungku, Pemerintah, Gereja dan Adat.

Oleh sebab itu, menurutnya hari ini diperlukan langkah-langkah nyata dan berani dari ketiga unsur di atas untuk menghidupkan kembali nilai-nilai tersebut. Ia mengatakan, mimpi menjadi pemimpin di negeri sendiri saat ini sedang diupayakan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui hadirnya UU Otsus yang baru, yang memberi ruang adanya pemekaran di Tanah Papua. Maka hadirnya UU Otsus menjadi upaya bersama Pemerintah, Gereja dan Adat untuk berdialog menjadikan mimpi itu nyata dengan sejelas-jelasnya.

“Agenda politik ini seharusnya sejalan dengan Adat dan Gereja; dalam pengertian bahwa Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri tanpa bantuan Adat dan Gereja atau tanpa mendengarkan aspirasi Adat dan Gereja. 167 tahun sudah Injil masuk ke Tanah Papua, dan sudah berabad-abad pula masyarakat Adat mendiami Tanah Papua, jauh sebelum hadirnya Pemerintah NKRI. Dengan pemahaman ini, maka ruang dialog antara ketiga tungku seharusnya terbuka lebar untuk mengejar tujuan Injil, yaitu Kabar Gembira dari Tanah Papua,” ujar Filep Wamafma.

Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa refleksi masuknya Injil di Tanah Papua hari ini menjadi momentum menegaskan kembali peran Gereja sebagai pencipta kebebasan asasi, yaitu menghadirkan kembali jiwa-jiwa Orang Papua yang merdeka dari semua jenis belenggu.
“Dari titik ini, dibutuhkan keberanian yang besar bahwasanya Gereja harus benar-benar hadir bagi Adat maupun bagi Pemerintah. Gereja tidak lagi sekadar berbicara tentang ritual-formal, melainkan lebih lagi menyentuh kehidupan dasar Orang Papua. Gereja harus lantang bersuara terhadap ketidakadilan terhadap Orang Papua. Gereja harus mampu menyuarakan suara-suara yang tidak bersuara (voice of voiceless) dari Orang Papua,” terang Filep.

Dengan mengikuti pemikiran Gustavo Gutiérrez, ia menekankan, refleksi atas 167 tahun masuknya Injil di Tanah Papua, bukan hanya sekadar sebuah refleksi teoritis atas iman atau sebuah teori transendental tanpa menyentuh bumi, melainkan sebuah refleksi kritis, dimana teologi-Gereja harus menjawab tantangan zaman dengan segala permasalahan sosialnya, terutama masalah kemiskinan.

“Teologi Kristen bukan hanya mencari intensitas dasar iman Kristiani, tetapi haruslah memiliki praksis sebagai wujud konkret penghayatan iman. Suara Gereja harus menghadirkan suara Orang Papua yang menderita. Hanya dengan cara itu, Orang Papua semakin diakui, semakin menampilkan eksistensinya, dan menjadi pemimpin di negerinya sendiri; karena sesungguhnya, In Gotes Name Betraiten Wir Das Land (Dalam nama Tuhan kami Menginjak Tanah ini),” jelasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Berita Terkini

- Advertisment -