JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Perjuangan masyarakat adat suku Awyu yang tinggal di beberapa kampung di wilayah Kabupaten Boven Digoel, Papua Selatan berbuah manis. Pasalnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak gugatan dua perusahaan sawit, PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama, terhadap Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Putusan Penertiban dan Penataan Pemegang Pelepasan Kawasan Hutan.
Putusan ini memenangkan Menteri LHK selaku tergugat dan masyarakat adat suku Awyu selaku tergugat intervensi yang diumumkan lewat sistem e-court Mahkamah Agung pada Selasa, 5 September 2023.
Dalam Pokok Perkara, Majelis Hakim PTUN Jakarta menyatakan: Pertama, Menolak Gugatan Penggugat (PT MJR dan PT KCP) dan Penggugat II Intervensi (atas nama Koperasi Yefioho Dohona Ahawang) seluruhnya. Kedua, Menghukum Penggugat dan Penggugat II Intervensi secara tanggung renteng untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 332.000,-
Awalnya, perusahaan tersebut memperkarakan putusan Menteri LHK antara lain terkait penetapan komitmen tambahan yang wajib dipenuhi seperti tidak melakukan pembukaan lahan berhutan di dalam areal pelepasannya untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit. Putusan ini dianggap merugikan perusahaan.
Dalam persidangan, eksepsi jawaban KLHK atas perkara ini diantaranya menyampaikan bahwa keputusan yang menjadi objek sengketa merupakan tindak lanjut dari arahan Presiden RI dan penambahan komitmen sudah sesuai dengan ketentuan untuk mengurangi dan mengendalikan deforestasi.
Dalam perkara ini, masyarakat adat Awyu asal Boven Digoel, sebagai pemilik tanah dan hutan adat yang mengajukan sebagai tergugat intervensi menyambut baik putusan PTUN Jakarta tersebut. Pasalnya, putusan ini menyelamatkan 65.415 hektare hutan hujan asli dari konsesi PT MJR dan PT KCP sehingga perusahaan tidak boleh melakukan deforestasi dalam area itu dan hanya boleh menjalankan bisnis dalam 8.828 hektare lahan hutan milik masyarakat adat yang telah dibuka oleh pemegang kedua konsesi.
“Ini putusan yang kami tunggu-tunggu. Cukup sudah, perusahaan jangan ganggu hutan dan tanah adat. Ko (perusahaan) mau bikin apa lagi di tanah adat kami? Patuhi sudah putusan ini dan biarkan kami rawat sendiri tanah adat kami. Semoga dengan gugatan ini, KLHK tahu kalau perusahaan trada niat baik dan segera cabut sepenuhnya izin PT MJR dan PT KCP. Harapannya kami bisa dapatkan hutan adat lagi, biar bisa kami kelola untuk anak cucu suku Awyu,” kata salah satu tergugat intervensi, Gergorius Yame dalam keterangan tertulisnya, Rabu (6/9/2023).
Gergorius Yame, berpendapat tindakan Menteri LHK menerbitkan putusan pencabutan dan pembatasan izin akan dapat memulihkan hak dan kepentingan masyarakat adat terdampak perusahaan ini. Sebaliknya jika permohonan perusahaan diterima maka akan merugikan hak dan kepentingan masyarakat, termasuk perempuan adat.
Menurutnya, mereka akan kehilangan wilayah hak ulayat berupa hutan dan tanah, kehilangan ruang kehidupan, menghilangkan keanekaragaman hayati di lokasi dan menghilangkan tempat keramat dan tempat penting berdasarkan pengetahuan dan keyakinan masyarakat adat. Sikap masyarakat adat ini juga didampingi oleh tim kuasa hukum masyarakat Awyu.
“Dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi, masyarakat adat suku Awyu telah berdiri bersama pemerintah dan membantu Menteri LHK memenangkan gugatan ini. Sekarang saatnya bagi Menteri LHK Ibu Siti Nurbaya dan kolega-koleganya di pemerintahan, baik di tingkat nasional maupun lokal, untuk mempercepat pengakuan hak atas tanah adat suku Awyu. Masyarakat adat Awyu berhak untuk melindungi dan mengelola hutan adat mereka sendiri, demi penghidupan sehari-hari dan masa depan mereka,” kata anggota tim kuasa hukum masyarakat Awyu, Sekar Banjaran Aji.
Selain itu, anggota tim kuasa hukum masyarakat Awyu lainnya yakni Tigor Gemdita Hutapea menekankan bahwa adanya perkara-perkara gugatan dan serangkaian persidangan ini membuktikan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus segera mengakui hutan adat. Menurutnya, pengakuan hutan adat sangat penting untuk menjauhkan komunitas adat dari konflik dengan perusahaan yang merampas ruang hidup mereka. (UWR)