JAGAINDONESIA.COM – Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digagas atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, kini terbukti menghadirkan ancaman serius bagi keberlanjutan lingkungan hidup, keadilan sosial, serta integritas tata kelola negara. Berdasarkan riset dan pemantauan LHKP (Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik) PP Muhammadiyah, serta laporan dari berbagai lembaga hak asasi manusia dan masyarakat sipil, PSN telah melahirkan pelanggaran hak-hak masyarakat adat, kriminalisasi warga penolak proyek, serta perusakan lingkungan hidup yang sistemik.
Komnas HAM mencatat bahwa dari 2020 hingga 2023 terdapat 114 pengaduan masyarakat terkait dengan 216 proyek PSN. Artinya, lebih dari 50% proyek ini terindikasi memunculkan konflik sosial dan pelanggaran HAM. Praktik penggusuran paksa, perampasan lahan, intimidasi aparat, hingga penggunaan gas air mata terhadap warga yang menolak proyek terjadi di berbagai daerah seperti Wadas (Jawa Tengah), Rempang (Kepulauan Riau), Merauke (Papua), dan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), Tangerang.
Di Rempang, aparat menggunakan gas air mata dan melakukan penangkapan terhadap warga, termasuk anak-anak, hanya karena mereka mempertahankan tanah adatnya. Di PIK 2, para petani dan nelayan kehilangan akses air; lahan mereka dibeli paksa dengan harga hanya Rp 50.000 per meter; dan sungai-sungai ditutup tanpa konsultasi publik. Di Wadas, proyek tambang batu andesit dipaksakan tanpa Analisis Dampak Lingkungan yang memadai, dan warga diperlakukan layaknya musuh negara.
Sementara itu, di Merauke, Papua, banyak dari masyarakat adat menyatakan penolakan terhadap proyek PSN pangan dan energi yang berisiko merusak struktur sosial dan ekologis masyarakat adat. Laporan juga menunjukkan bahwa proyek-proyek ini menyebabkan deforestasi luas, mempercepat krisis iklim, dan menghilangkan sumber pangan serta air bersih masyarakat. Proyek ini merupakan praktik kebijakan negara yang mendorong ekosida karena daratan Merauke – sekitar 4 juta ha, 2.2 juta ha dialokasikan untuk proyek PSN pangan dan energi yang dioperasikan oleh korporasi raksasa dan didukung dengan aparat militer bersenjata. Papua dianggap tanah kosong, tak berpenghuni dan aspek lingkungan hidup diabaikan sama sekali.
Menurut catatan LHKP, lebih dari 103.000 ibu rumah tangga kehilangan sumber pendapatan mereka akibat perampasan tanah dan rusaknya ekosistem penghidupan. Warga pun dipaksa membeli kebutuhan dasar dengan harga yang lebih tinggi, karena mereka kehilangan akses terhadap sumber pangan mandiri seperti ikan, sagu, dan sayur-sayuran lokal.
Proyek-proyek ini dijalankan dengan melanggar prinsip-prinsip tata kelola lingkungan yang baik. Banyak yang tak memiliki Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau AMDAL yang layak, dan proses konsultasi publik hanya menjadi formalitas. Negara bahkan menggunakan aparat keamanan untuk membungkam protes rakyat, yang sejatinya sedang mempertahankan ruang hidup mereka.
Ini adalah penyimpangan moralitas kebangsaan yang menyalahi semangat Alinea Pertama Pembukaan UUD 1945: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Dalam kenyataannya, negara justru melindungi kepentingan investor, elite bisnis, dan kekuatan oligarki melalui kebijakan PSN ini.
Lebih dari sekadar kebijakan ekonomi, PSN adalah cermin dari kekuasaan yang memihak pada pemodal, merusak tatanan nilai demokrasi, serta mengancam eksistensi kelompok rentan—khususnya masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan komunitas religius lokal. Proyek-proyek ini tidak hanya mencabut hak atas tanah dan hidup, tetapi juga memutus ikatan spiritual masyarakat terhadap alam yang selama ini mereka jaga sebagai bagian dari ajaran iman.
Semua agama mengajarkan pentingnya keadilan, keberpihakan kepada kaum tertindas, dan pelestarian bumi sebagai amanah ilahi. Karena itu, kami menyerukan agar proyek-proyek yang merusak ini dihentikan dan ditinjau ulang secara total, demi masa depan bangsa yang adil, lestari, dan bermartabat.
Pada Diskusi publik bertajuk “Tanggung Jawab Profetik Kaum Agamawan: Menjaga Alam dan Berpihak pada yang Tertindas” diselenggarakan pada 24 Juni 2025 bertempat di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jakarta. Kegiatan ini menghadirkan para tokoh lintas agama yang menyampaikan pandangan reflektif dan kritis terhadap persoalan lingkungan hidup, terutama dalam kaitannya dengan tanggung jawab moral dan spiritual kaum agamawan.
Dr. Busyro Muqoddas, S.H., M.H. (Ketua PP Muhammadiyah: Bidang HAM, Hukum, dan Hikmah)
Dalam paparannya, Dr. Busyro Muqoddas menegaskan bahwa upaya advokasi Muhammadiyah terhadap isu lingkungan dan pembelaan terhadap rakyat merupakan mandat resmi organisasi sebagaimana tertuang dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Ke-48 Muhammadiyah Tahun 2022. Advokasi tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan secara ilmiah dan berbasis data. Termasuk di dalamnya adalah advokasi terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dinilai berpotensi menimbulkan dampak ekologis dan sosial. Beliau juga menambahkan, bahwa Misi Besar Agama sebagai Gerakan Profetik (Liberasi, Humanisasi, Transendensi), hal tersebut senada dengan alinea pertama UUD 45, Bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dalam konteks ini termasuk merdeka dari kerusakan lingkungan akibat PSN.
Franky Samperante (Solidaritas Merauke)
Franky Samperante perwakilan dari Solidaritas Merauke, suatu koalisi organisasi masyarakat sipil Indonesia, yang mengadvokasi permasalahan PSN Merauke, menyebutkan PSN Pangan dan Energi direncanakan akan mengalihfungsikan tanah dan hutan adat 2.2 juta ha dari total luas kabupaten Merauke yakni sekitar 4 juta ha. Proyek ini tidak melibatkan masyarakat adat di 15 Distrik secara pratisipatif- karena tersentral dari pusat – dan mengabaikan prinsip dasar Free, Prior and Informed Consent dan ketentuan hukum yang melindungi masyarakat adat. Proyek ini juga akan sangat membahayakan bagi lingkungan hidup, memperparah krisis iklim, dan dampak tak terperikan bagi manusia. Proyek ini semakin parah karena dioperasikan oleh korporasi raksasa dan difasilitasi oleh negara melalui kebijakan hukum UU Cipta Kerja dan pelibatan aparat keamanan yang tak sesuai tugas dan fungsinya (militerisasi).
Yohanes Kristo Tara, OFM (Tokoh Agama Katolik)
Yohanes Kristo Tara menekankan bahwa isu lingkungan hidup tidak hanya berkaitan dengan aspek ekologis semata, tetapi juga menyangkut dimensi politik dan spiritualitas yang menjadi bagian dari iman agama-agama. Menurutnya, dampak paling besar dari krisis ekologi justru ditanggung oleh kelompok miskin dan rentan. Oleh karena itu, gereja memiliki tanggung jawab untuk membangun kesadaran kolektif bahwa manusia perlu menciptakan relasi baru dengan alam. Ia juga menggarisbawahi pentingnya pertobatan ekologis serta mendorong pemerintah agar menyusun dan mengevaluasi kebijakan yang tidak berpihak pada kelestarian alam dan kaum miskin.
Gus Roy Murtadho (Pengasuh Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar)
Gus Roy Murtadho menyampaikan keprihatinan atas fenomena terkini, di mana agama kerap dijadikan tameng oleh pemilik modal. Dalam situasi demikian, pihak-pihak yang menyuarakan kritik terhadap kebijakan yang merusak lingkungan sering kali dituduh anti agama. Fenomena ini, menurutnya, menunjukkan ironi dan penyimpangan dari nilai-nilai agama yang sejatinya berpihak pada keadilan dan keberlanjutan hidup.
Pdt. Johan Kristantara, M.Th. (Tokoh Agama Kristen)
Pdt. Johan Kristantara menawarkan refleksi teologis mengenai pertobatan ekologis. Ia menyatakan bahwa pertobatan ekologis harus berangkat dari pemahaman ekoteologi yang menolak pandangan antroposentris, yaitu bahwa manusia adalah pusat alam semesta. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa manusia merupakan bagian dari alam yang hidup dalam “rumah bersama”, sehingga memiliki kewajiban untuk menjaga keseimbangan ekologis dan berbagi kehidupan dengan seluruh makhluk. Lebih dari interfaith dialogues, diperlukan lebih banyak interfaith action sebagai wujud konkret pertobatan ekologis lintas agama.
Hening Parlan (Wakil Ketua LLH PB PP ‘Aisyiyah)
Hening Parlan menyoroti pentingnya penggabungan dua sisi dalam gerakan penyelamatan lingkungan dan pembelaan terhadap rakyat. Di satu sisi, gerakan ini harus dilandasi oleh kecintaan terhadap bumi dan generasi masa depan. Di sisi lain, ia juga harus mengandung semangat perlawanan terhadap ketidakadilan struktural. Ia menyebut bahwa gerakan ini tidak hanya bersifat eko-teologis, melainkan juga mengandung semangat eko-jihad.
Didin Syafruddin, M.A., Ph.D. (Direktur Eksekutif PPIM UIN Jakarta)
Sebagai penutup, Dr. Didin Syafruddin memaparkan temuan riset PPIM UIN Jakarta yang menunjukkan adanya kecenderungan pandangan apokaliptik di masyarakat. Pandangan ini membuat sebagian masyarakat memaklumi kerusakan lingkungan sebagai bagian dari “tanda-tanda kiamat” yang tak terhindarkan. Selain itu, ia juga mencatat kecenderungan teologis yang antroposentris sebagai tantangan serius dalam upaya mengatasi deforestasi dan kerusakan lingkungan.
Sumber: PUSAKA