PAPUA, JAGAINDONESIA.COM – Polemik pembakaran aksesoris burung Cenderawasih oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) pada 20 Oktober 2025 lalu menyita perhatian publik Terkait hal ini, Asisten Bidang Pemerintahan Sekretariat Daerah Provinsi Papua, Yohanes Walilo mengimbau kepada masyarakat agar bijak menyikapi hal ini karena BBKSDA menjalankan tindakan tersebut dalam rangka penegakan hukum atas satwa yang dilindungi.
“Kami menegaskan bahwa tindakan BBKSDA dilakukan berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam penanganan barang bukti pelanggaran konservasi,” ujarnya, dikutip dari ANTARA, Kamis (23/10/2025).
Meski begitu, dia menekankan pentingnya koordinasi stakeholder terkait dengan unsur-unsur masyarakat dengan mempertimbangkan nilai-nilai adat dan kultur masyarakat setempat. Di sisi lain, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Nerlince Wamuar mengapresiasi tindakan pemusnahan aksesori mahkota burung cendrawasih oleh BBKSDA, namun ia menyesalkan tidak adanya koordinasi pihak BBKSDA dengan lembaga kultur.
“Tugasnya (red, BBKSDA) memang melindungi flora dan fauna endemik Papua,” ujar Nerlince Wamuar melansir laman resmi MRP, Rabu (22/10/2025).
“Misalnya polisi sita minuman keras, harus dimusnahkan. Itu sesuai regulasi yang mengaturnya. Demikian juga BBKSDA melakukan hal serupa sesuai fungsi tugasnya. Supaya ini menjadi edukasi bagi semua orang Papua,” ujar Wamuar.
Menurutnya, masyarakat Papua yang merasa memburu, membunuh dan memperjual-belikan burung Cenderawasih, Kasuari, dan Kuskus pohon, patut menyadari bahwa tindakan memburu hewan-hewan tersebut adalah ilegal.
“Jangan sampai suatu waktu hanya menjadi cerita kepada generasi Papua bahwa, Papua pernah punya burung surga yang indah. BBKSDA juga perlu memperhatikan individu dan kelompok masyarakat yang masih memburu dan menjual hewan berstatus dilindungi tersebut,” ucapnya.
Meski begitu, Wamuar mengatakan, mestinya ada koordinasi dengan MRP sebagai lembaga kultur guna bersama mencari solusi tepat, untuk penanganan penyebaran hewan dan benda sakral yang merupakan ikon budaya masyakarat Papua.
“Cenderawasih itu berbeda dari burung lainnya. Kami orang Tabi punya cerita rakyat dengan mitologinya bahwa burung surga itu dilahirkan seorang perempuan Tabi, sehingga sangat disayangkan jika upaya pemusnahannya dengan cara dibakar,” katanya.
Sementara itu, Kementerian Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Papua, khususnya kepada para tokoh adat dan lembaga kultural seperti Majelis Rakyat Papua (MRP), atas munculnya kekecewaan terkait pemusnahan barang bukti berupa mahkota Cenderawasih.
Direktur Jenderal KSDAE, Prof. Satyawan Pudyatmoko, menjelaskan bahwa pemusnahan itu merupakan bagian dari proses penegakan hukum terhadap perdagangan satwa liar dilindungi dan bagian-bagiannya, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 sebagaimana telah diubah melalui UU Nomor 32 tahun 2024 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Namun demikian, Kemenhut memahami bahwa sebagian barang bukti tersebut memiliki nilai budaya yang tinggi bagi masyarakat Papua.
“Kami menyampaikan permohonan maaf atas timbulnya kekecewaan dan rasa terluka yang dirasakan oleh masyarakat Papua. Kami memahami bahwa mahkota cenderawasih bukan sekadar benda, melainkan simbol kehormatan dan identitas kultural masyarakat Papua,” ujar Prof. Satyawan di Jakarta, Rabu (22/10/2025).
Ia menegaskan bahwa tidak ada sedikit pun niat dari Kementerian Kehutanan untuk menyinggung, mengabaikan nilai budaya, atau melukai masyarakat Papua. Kejadian tersebut murni dalam kerangka upaya penegakan hukum. Menurutnya, kejadian ini juga menjadi pembelajaran penting bagi seluruh jajaran agar dalam setiap langkah pengambilan keputusan di lapangan, juga mengedepankan pertimbangan aspek sosial dan budaya secara menyeluruh.
“Konservasi tidak hanya soal menjaga dan melindungi satwa di alam, tetapi juga tentang penghormatan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Kami berkomitmen untuk terus membangun komunikasi dan kolaborasi bersama masyarakat Papua dengan menjunjung tinggi prinsip saling menghormati,” lanjutnya.
Sebagai tindak lanjut, Kemenhut telah menginstruksikan Balai Besar KSDA Papua untuk segera melakukan komunikasi dan dialog dengan lembaga adat, MRP, dan tokoh masyarakat setempat. Dialog ini bertujuan memperkuat pemahaman bersama serta merumuskan mekanisme yang lebih baik dalam menangani barang bukti satwa liar yang memiliki nilai budaya, dan dalam upaya konservasi sumber daya alam hayati di wilayah Papua.
“Kami akan mengkaji kemungkinan agar barang bukti bernilai budaya dapat dikelola untuk mendukung fungsi edukatif melalui kerjasama dengan lembaga adat atau museum daerah, tanpa mengurangi aspek hukum perlindungan satwa liar,” jelasnya.