Kamis, 15 Mei 2025
BerandaHukumDukung Revisi UU Kehutanan, Senator Filep Wamafma Beri Catatan Kritis

Dukung Revisi UU Kehutanan, Senator Filep Wamafma Beri Catatan Kritis

JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Merespons permintaan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua Barat mengenai revisi UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan), Senator Filep Wamafma angkat bicara. Ia mendukung aspirasi tersebut dengan sejumlah rasionalisasi.

“Aspirasi Pemprov Papua Barat untuk merevisi UU Kehutanan menurut saya sangat masuk akal. Data Badan Informasi Geospasial (red, BIG) tahun 2023 menyebut bahwa luas hutan Indonesia mencapai 102,53 juta hektare, dan sebagian besarnya ada di Papua, yakni 33,12 juta ha atau 32,2 persen dari total luas tutupan hutan Indonesia. Dengan hutan seluas itu, seharusnya ada sumber pemasukan yang cukup besar bagi Pemerintah Daerah (Pemda)”, kata Filep (12/5/2025).

“Ada persoalan kewenangan yang perlu dikaji ulang. Kita tahu bahwa bidang kehutanan sesuai UU Pemda, tepatnya Pasal 12 ayat (3) merupakan Urusan Pemerintahan Pilihan. Dalam arti ini, Pemda juga punya kewenangan untuk mengelola hutan. Coba kita kaji lebih dalam, kalau kita berpatokan pada UU Kehutanan, maka pengurusan hutan yang terdiri atas (1) penyelenggaraan perencanaan kehutanan, (2) pengelolaan hutan, (3) penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan (4) pengawasan sesuai Pasal 10 UU Kehutanan, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dari lestari untuk kemakmuran rakyat. Namun faktanya, manfaat itu dipangkas oleh UU Pemda dan UU/Perppu Cipta Kerja,” lanjut Filep.

Lebih lanjut, Filep yang juga Sekretaris Dewan Adat Suku Byak Manokwari itu lantas menyoroti pemangkasan kewenangan yang menyebabkan Pemda tidak mampu berbuat banyak terkait pengurusan hutan.

“Persoalan rehabilitasi misalnya. Rehabilitasi merupakan bagian dari pengelolaan kehutanan. Kita lihat Pasal 42 UU Kehutanan yang menyebut rehabilitasi dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. Pelaksanaannya melalui pendekatan partisipasi dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat. Akan tetapi, pendekatan partisipatoris ini hilang oleh pemangkasan UU Pemda, yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan merupakan kewenangan pemerintah pusat, sedangkan pemerintah daerah provinsi hanya diberi kewenangan pelaksanaan rehabilitasi di luar kawasan hutan negara,” kata Filep lagi.

“Dalam konteks Papua, ternyata pemangkasan ini berlanjut dalam PP Nomor 106 Tahun 2021. Lampiran PP ini tetap mengikuti rumusan dalam UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah provinsi dalam hal pelaksanaan rehabilitasi hanya di luar kawasan hutan. Berarti jelas masyarakat dan Pemda tidak bisa melakukan rehabilitasi di dalam kawasan hutan. Padahal kita paham juga bahwa hutan di Papua juga berada di bawah naungan masyarakat adat,” tegasnya.

Lebih lanjut, Ketua ADRI Papua Barat itu menambahkan, secara filosofis-antropologis, Pasal 38 ayat 2 UU Otsus menyatakan usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan.

Selain itu menurutnya, pengolahan lanjutan dalam rangka pemanfaatan sumber daya alam tetap berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang sehat, efisien, dan kompetitif. Dalam penjelasan Pasal 39 dikatakan bahwa pengolahan lanjutan adalah pengolahan bahan baku yang dihasilkan dari pemanfaatan sumber daya alam Papua misalnya sektor migas, pertambangan umum, kehutanan, perikanan laut, serta hasil-hasil pertanian pada umumnya.

“Pengolahan lanjutan ini ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah dari sumber-sumber tersebut yang berdampak positif bagi penerimaan Provinsi, penciptaan lapangan kerja, peningkatan pemanfaatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pemanfaatan lainnya. Pembatasan kewenangan seperti ini lama-lama hanya membuat Pemda berharap saja dari DBH Kehutanan sebesar 80% sesuai Pasal 34 UU Otsus. Padahal Pemda bisa berbuat lebih banyak jika kewenangannya tidak dibatasi,” tambah Filep yang juga merupakan Ketua Pansus DPD RI dalam pembahasan RUU Otsus Papua.

Ia lantas menyinggung Pasal 20 hingga Pasal 26 UU UU Kehutanan tidak banyak memberi penegasan mengenai kewenangan mengurus hutan. Menurutnya, celah inilah yang dipakai oleh Perppu Cipta Kerja melalui Pasal 36 memberi kewenangan yang luas dan kuat pada Pemerintah Pusat untuk melakukan perubahan peruntukan dan perubahan fungsi Kawasan Hutan, menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas Kawasan Hutan dan penutupan Hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan/atau pulau, mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi lisik dan geografis daerah aliran sungai dan/atau pulau, menetapkan pemberian Perizinan Berusaha atas hutan lindung dan Pemanfaatan Hutan Produksi.

“Jadi jika ada bangunan fasilitas umum yang terbengkalai di Papua Barat, Pemda kebingunan harus berbuat apa. Karena Pasal 36 ayat 14 Perppu Cipta Kerja menegaskan bahwa penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan Kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam Kawasan Hutan Produksi dan Kawasan Hutan Lindung. Ini berarti terhadap hutan konservasi tidak dapat dilakukan kegiatan pembangunan fasilitas umum. Poin ini penting dicermati,” kata Ketua Komite III DPD RI ini.

Dalam konteks Papua Barat, lanjut Pace Jas Merah ini, PP Nomor 106 Tahun 2021 memberikan kewenangan pada Pemerintah Provinsi untuk menyelenggarakan penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan fasilitas umum yang bersifat non komersil, namun dengan luasan tertentu. Artinya, terdapat batasan jika pembangunan fasilitas umum berhadapan dengan jenis, fungsi, dan luas hutan tertentu. Pembatasan ini juga semakin diperkuat dengan isi Pasal 36 ayat (15) Perppu Cipta Kerja yang menyatakan bahwa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat mengatur perlindungan Hutan, baik di dalam maupun di luar Kawasan Hutan. Disebutkan pula bahwa Perlindungan Hutan pada Hutan Negara dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Kata-kata ‘sesuai kewenangannya’, mau tidak mau mengacu pada UU Pemda.

Terkait hal itu, penulis buku ‘Hukum Pemerintahan Daerah Papua’ itu kemudian memberi sejumlah solusi dalam konteks Papua.

“Sekarang apa yang harus dilakukan? Pertama, persoalan ini ternyata bukan sekadar persoalan sederhana, bukan hanya UU Kehutanan saja, melainkan juga UU Pemda, Perppu Ciptaker, dan PP 106 Tahun 2021. Jadi ini kompleks sekali. Kedua, Pemda dan Pemerintah Pusat harus duduk bersama, memetakan lagi ruang Otsus terutama wilayah kehutanan. Pedomannya jelas bahwa hutan negara dapat menjadi hutan adat, sehingga masyarakat adat yang menjadi spirit Tanah Papua, harus punya kewenangan yang lebih untuk mengurus hutan Papua,” ujarnya.

“Ketiga, revisi normatif harus dilakukan atas UU Pemda terlebih dahulu, atau setidaknya merevisi UU/Perppu Ciptaker. UU/Perppu Ciptaker ini sebenarnya bertentangan pada dirinya sendiri, contradictio in terminis, karena pada satu sisi memberikan batasan kewenangan, namun di sisi lain menegaskan bahwa untuk menjamin pelaksanaan perlindungan Hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan Hutan Pasal 36 ayat 15. Pada hilirnya, revisi atas PP Nomor 106 Tahun 2021 sudah pantas untuk dilakukan,” pungkas Filep.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terkini

- Advertisment -