JAKARTA, JAGAINDONESIA.COM – Pelanggaran atas kebebasan berekspresi dinilai menjadi masalah yang mendominasi dan berulang kali terjadi di tanah Papua. Hal itu disampaikan oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA) dalam rilis persnya di Jakarta, Rabu, 3 Mei 2023.
“Pelanggaran HAM, hak atas kebebasan berekspresi paling serius dan berulang-ulang terjadi di Papua pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Penggembosan dan pemenjaraan terhadap hak kebebasan berekspresi akan beresiko merampas hak hidup, tidak demokratis, penguasa menjadi paling benar,” ungkap Direktur Pusaka, Franky Samperante di Jakarta.
Di Tanah Papua, PUSAKA mendokumentasikan peristiwa pelanggaran HAM berbasis pada peristiwa sepanjang tahun 2022 yang dilaporkan dalam publikasi berjudul “Dong Penjarakan Tong Pu Suara dan Pikiran”. Temuan PUSAKA menyebutkan terdapat 26 kasus dugaan pelanggaran kebebasan berekspresi terjadi di sejumlah daerah di wilayah Papua Selatan hingga Papua Barat Daya.
“Kami menemukan 26 kasus yang diduga melanggar hak atas kebebasan berekspresi yang terjadi meluas di berbagai daerah di Papua, Jayapura, Nabire, Merauke, Wamena, Jayawijaya, Manokwari, Kaimana dan Sorong,” katanya.
Menurut Franky, pada praktiknya, penghormatan dan perlindungan atas hak dasar atas kebebasan berekspresi yang diatur dalam Konstitusi UUD 1945, Pasal 28 E dan Pasal 28 F ini seringkali dilanggar, diabaikan dan digembosi oleh penguasa pemerintah dan aparatur keamanan negara.
“Masyarakat sipil dan aktivis pergerakan sosial yang mengekspresikan dan menyuarakan suara kritis dan aksi damai untuk menyoroti kekuasaan, mengungkap ketidakadilan dan kebenaran, dipaksa diam, disiksa, dan bahkan dipenjarakan, dengan berbagai alasan, diskriminasi dan legitimasi aturan hukum,” ujarnya.
“Aksi protes terhadap kebijakan Otonomi Khusus Papua dan pembentukan Daerah Otonomi Baru, dan menyuarakan ketidakadilan, dihadapi dengan pembubaran, kekerasan, penangkapan dan kriminalisasi, yang melibatkan aparat keamanan negara Polri TNI dengan bertindak represif dan melanggar konstitusi hukum, yakni UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU Nomor 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Peraturan Kapolri Nomor 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalm Tindakan Kepolisian,” sambungnya.
Dalam kasus ini, lanjut Franky, terdapat tiga korban meninggal dan 72 orang luka-luka, 361 orang ditangkap sewenang-wenang, 26 orang ditangkap dan menjalani proses hukum, diantaranya 18 orang dikenakan pasal makar dengan ancaman penjara seumur hidup.
“Pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi dan memajukan HAM. Terlebih, Presiden Jokowi berkomitmen menyelesaikan pelanggaran HAM dan Dialog Damai. Jauh Panggang Dari Api, praktiknya pelanggaran HAM di Papua masih terus terjadi. Pendekatan keamanan dan operasi militer dalam penanganan konflik bersenjata saat ini menimbulkan hilangnya hak hidup, hak atas rasa aman damai, hak atas kesejahteraan ekonomi,” sebutnya.
Lebih lanjut, PUSAKA berpendapat dan meminta pemerintah dan aparat keamanan negara untuk menghormati dan melindungi hak untuk berkumpul dan mengemukakan pendapat secara damai, orang-orang yang menyuarakan hak menentukan nasib sendiri, hak sipil politik, hak sosial ekonomi dan budaya, dan/atau menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan pemerintah nasional di Papua.
“Pemerintah segera mengevaluasi kebijakan pendekatan keamanan dan penggunaan taktik brutal TNI Polri dalam penanganan dan pengendalian aksi protes, melakukan penegakan hukum atas dugaan pelanggaran HAM dan memulihkan hak-hak korban, dan melakukan Dialog Damai yang efektif,” tambahnya. (UWR)